Ada masa di mana Rasulullah SAW melarang sahabat untuk menyimpan daging kurban melebihi tiga hari. Saat itu kondisi masyarakat sedang kritis, kemudian Rasulullah SAW memberikan waktu tiga hari kepada para sahabat yang memiliki daging lebih, untuk membagikannya kepada mereka yang membutuhkan. Lalu saat kondisi pangan masyarakat membaik, Rasulullah mencabut larangan penyimpanan daging tersebut. Rasulullah mempersilakan para sahabat untuk mengawetkan daging kurban meski melebihi hari tasyrik. Dari sinilah kemudian ulama fiqih memutuskan bahwa, pengawetan atau penyimpanan daging kurban tidak dilarang. Ulama fiqih menganjurkan, bahwa yang disimpan adalah sepertiga daging kurban yang menjadi kuota konsumsinya, bukan dua pertiga daging kurban yang seharusnya didistribusikan sebagai sedekah kepada orang lain.
نبيه: لا يكره الادخار من لحم الأضحية والهدي، ويندب إذا أراد الادخار أن يكون من ثلث الأكل، وقد كان الادخار محرما فوق ثلاثة أيام ثم أبيح بقوله صلى الله عليه وسلم لما راجعوه فيه كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ مِنْ أَجْلِ الدَّافَّةِ وَقَدْ جَاءَ اللهُ بِالسَّعَةِ فَادَّخِرُوْا مَا بَدَا لَكُمْ رواه مسلم
Berdasarkan sabda Rasulullah saw ketika para sahabat kembali bertanya kepadanya, ‘Dulu memang kularang kalian menyimpannya karena tamu. Kini Allah memberikan kelapangan-Nya. Oleh karena itu, simpanlah daging yang telah jelas bagimu,’”(As-Syarbini, Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Ma’anil Minhaj, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1997 M/1418 H], juz IV, halaman 388). Imam Rafi’i mengatakan, tamu yang dimaksud adalah sekelompok badui yang memasuki Kota Madinah di masa Rasulullah. Mereka tidak berdaya oleh paceklik dan kelaparan yang mendera mereka di pedalaman. Tetapi ada ulama yang menafsirkan, kata “dāffah” adalah musibah yang melanda masyarakat.
Penyimpanan daging kurban tergantung pada pemerataan, terutama bagi orang-orang yang mengalami kesulitan pangan, seperti yang pernah terjadi terhadap Arab Badui yang pergi ke Kota Madinah untuk mendapatkan makanan. Wallahu a’lam.