Dalam sejarah Nahdlatul Ulama, Pondok Pesantren Cipasung menyimpan cerita sakral. Sebab di sinilah, NU selamat dari usaha kooptasi pemerintahan Orde Baru pada Muktamar NU ke-29 tahun 1994.
Muktamar NU di Cipasung merupakan medan perang terbuka antara penguasa Orde Baru-Presiden Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kala itu, Gus Dur merupakan sentrum kelompok oposisi terhadap pemerintahan Suharto. Gus Dur aktif terlibat di Forum Demokrasi dan kerap melayangkan kritik tajam kepada pemerintahan Suharto. Usaha Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi dan kemanusiaan mendapat pengakuan di mata dunia. Pada tahun 1993 Gus Dur menerima penghargaan internasional Ramon Magsaysay Award di Manila yang setara dengan nobel perdamaian.
Sejatinya, Gus Dur yang telah menjabat Ketua Umum PBNU selama dua periode sebelumnya enggan mencalonkan diri kembali. Akan tetapi, melihat kuatnya usaha intervensi Suharto terhadap NU yang mengancam organisasi dan atas restu para kiai sepuh, Gus Dur memutuskan untuk turun gelanggang kembali.
Melihat hal itu, kelompok Orde Baru tak tinggal diam. Sejumlah propaganda yang mendiskreditkan Gus Dur makin deras dilancarkan. Seperti bunyi-bunyian “Asal Bukan Gus Dur atau ABG” makin kencang disuarakan untuk menghadang laju Gus Dur, sekaligus memecah kekuatan NU. Di samping itu, pemerintah Orde Baru juga memasang lawan tanding Gus Dur, yaitu Abu Hasan. Strategi ini ditempuh oleh Suharto dalam upaya mengendalikan seluruh kekuatan masyarakat sipil di Indonesia, termasuk kelompok Islam, tak terkecuali Nahdlatul Ulama.
Hari Muktamar tiba. Tak kurang dari 1,500 personil militer telah siap di luar arena. Ratusan intel tersebar. Puluhan panser juga telah bersiaga dan berjaga ketat lokasi Muktamar. Suharto sendiri yang tiba di Cipasung untuk membuka Muktamar dikawal ketat oleh pejabat militer.
Suasana makin tegang jelang pemungutan suara. Lebih-lebih setelah memasuki putaran kedua saat Gus Dur yang merupakan representasi dari kekuatan NU berhadapan langsung dengan Abu Hasan, representasi Suharto.
Di arena Muktamar, para kiai sepuh, muktamirin dan aktivis muda NU dihantui kecemasan. Sejumlah kiai sepuh tak kuat membendung air mata sambil terus merapal doa, bermunajat, agar NU selamat dari tekanan Orde Baru.
Senin dini hari, 5 Desember 1994, panitia muktamar membacakan perolehan suara. Melalui pengeras suara, panitia membacakan perolehan suara Gus Dur versus Abu Hasan. Forum Muktamar seketika pecah. Aktivis muda NU bersorak, melepas rasa haru saat hasil penghitungan suara. Gus Dur unggul dari Abu Hasan. Gus Dur memperoleh 174 suara, sementara Abu Hasan 142 suara. Para pemuda NU meneriakkan yel-yel “Soeharto has to go!”